
Apa itu cop 28? Mengenal berbagai istilah rumit dalam konferensi iklim tahunan dunia
- Select a language for the TTS:
- Indonesian Female
- Indonesian Male
- Language selected: (auto detect) - ID
Play all audios:

Pada 30 November - 12 Desember 2023, para pemimpin negara-negara akan berkumpul dalam acara Konferensi Anggota (_Conference of Parties_/COP) Badan PBB untuk Konvensi Kerangka Kerja Perubahan
Iklim (UNFCCC) ke 27 di Dubai, Uni Emirat Arab. ------------------------- _ READ MORE: SENTIMEN MIRING CEO RAKSASA MIGAS MEMIMPIN COP 28 DAPAT MENGABAIKAN AGENDA IKLIMNYA UNTUK NEGARA
BERKEMBANG _ ------------------------- Konferensi ini menyedot perhatian pembesar-pembesar dunia dari beragam sektor, termasuk Indonesia. Di forum inilah para pemimpin berkumpul dan
membicarakan masa depan bumi. Namun, tak sedikit orang-orang – terutama anak muda – yang mencemooh COP lantaran perbincangan para pejabat justru tidak menghasilkan aksi signifikan untuk
mencegah perubahan iklim. Banyak pula yang cuek lantaran acara ini, berikut publikasinya di media, justru memakai istilah-istilah rumit yang menambah kebingungan publik. Lantas, apa itu COP
dan seberapa penting acara ini bagi kelangsungan bumi? Berbekal uraian para ahli yang terbit di _The Conversation_, saya merangkum penjelasan beberapa istilah rumit yang kerap berseliweran
di media kala hajatan tahunan ini berlangsung. 1) BUAT APA ADA COP? Bagian awal tulisan ini sudah bilang bahwa COP adalah hajatannya UNFCCC. UNFCCC adalah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa
(PBB) yang membikin aturan dasar dan kerangka supaya negara-negara dunia bisa bergotong royong melawan perubahan iklim. Lembaga ini dibuat sejak 1992 agar negara-negara punya arah jelas
untuk mengontrol emisi gas rumah kaca yang merusak kehidupan di muka bumi. Tahun tersebut juga secara langsung menjadi COP pertama yang dihadiri oleh 154 negara peserta UNFCCC. Sekarang,
lembaga ini sudah punya 196 negara peserta. COP digelar setiap tahun, dengan negara tuan rumah yang berbeda. Direktur Eksekutif University of Dayton Human Rights Center, Shelley Inglis,
dalam artikelnya menyebutkan kalau COP sudah menghasilkan beberapa perjanjian internasional. Misalnya Protokol Kyoto dan Perjanjian Paris. Dalam COP 26 pada 2021 di Skotlandia, negara-negara
juga menyepakati Pakta Iklim Glasgow untuk mengakhiri penggunaan batu bara–-salah satu biang keladi terlepasnya karbon dioksida maupun gas-gas lainnya ke atmosfer. Pakta ini juga yang
akhirnya mendorong Indonesia untuk melarang pembangunan PLTU baru. 2) PERJANJIAN PARIS, APA ITU? Substansi utama Perjanjian Paris adalah adanya target bersama negara-negara untuk menahan
laju suhu bumi agar tak melebihi 1,5°C pada 2030. Ini dikatakan Matthew Hoffmann, Profesor Ilmu Politik dan Co-Director Environmental Governance Lab, University of Toronto, Kanada, dalam
artikelnya. Sejauh ini, menurut kesepakatan para ilmuwan, Bumi sudah lebih hangat 1,1°C sejak 1850-an. Perjanjian yang diteken dalam COP 21 ini juga mewajibkan para peserta untuk membuat
rencana pengendalian emisi gas rumah kaca di negara masing-masing. Perjanjian Paris juga punya aturan supaya laporan pengendalian emisi negara-negara bisa seragam. Perjanjian ini pun dibuat
supaya memastikan pengendalian emisi negara-negara bisa sejalan dengan target suhu 1,5°C. Hal lainnya yang diatur misalnya, kewajiban negara-negara maju untuk mengucurkan duit ke
negara-negara belahan bumi selatan yang notabene belum maju. Ini salah satu pasal yang paling alot, bahkan sempat ditolak oleh negara-negara kaya. Padahal merekalah yang bertanggung jawab
pada sebagian besar polusi di muka bumi . ------------------------- _ READ MORE: RISET: BIAYA LINGKUNGAN INDONESIA NYARIS SERIBU TRILIUN SETAHUN, INI 10 BESAR PENYEBABNYA _
------------------------- Sementara, dosen senior bidang _Physical Geography_ Loughborough University Inggris Richard Hodgkins dalam argumennya meyakini Perjanjian Paris penting karena suhu
1,5°C adalah batas paling ‘aman’ buat bumi. Kalau suhu bumi sudah naik 2°C, misalnya, studi memprediksi hasil pangan bakal terpangkas besar-besaran–-terutama di daerah tropis semacam
Indonesia–dan sebagian besar terumbu karang akan musnah. Andaipun COP gagal, kata Richard, bukan berarti dunia langsung kiamat. Namun, pemanasan berlebih bakal membuat kita kewalahan
menghadapi berbagai macam bencana terburuk yang makin sering terjadi seperti kekeringan, gelombang panas, banjir besar, dan kenaikan muka air laut. 3) APA ITU MITIGASI IKLIM? Menurut
Profesor Kebijakan Publik, Psikologi, dan Sains Perilaku di USC Sol Price School of Public Policy di Amerika Serikat, Wändi Bruine de Bruin, mitigasi (perubahan iklim) adalah tindakan
manusia mengurangi emisi gas rumah kaca ke atmosfer. Mitigasi juga bisa dilakukan dengan menambah penyerapan emisi karbon di bumi, misalnya dengan menanam pohon ataupun pemulihan mangrove.
Artinya, Wändi mengatakan, mitigasi bertujuan untuk mencegah perubahan iklim semakin buruk. Soalnya, emisi yang ‘menempel’ di atmosfer membuat panas tidak bisa keluar dari muka bumi sehingga
bikin planet ini semakin panas. Emisi bisa kita kurangi dengan cara memangkas pembakaran batu bara, minyak bumi, lalu menggantinya dengan energi terbarukan seperti sinar matahari dan angin.
Kendati begitu, bisa juga lewat cara-cara tidak langsung seperti membuat bangunan yang hemat energi dan hemat material. 4. APA ITU ADAPTASI IKLIM? Menurut Wändi, adaptasi adalah proses
manusia untuk menyesuaikan diri dengan dampak perubahan iklim. Misalnya: lebih banyak menanam pohon di sekitar rumah agar suhu di tengah perubahan iklim bisa sedikit lebih adem. Pembangunan
tembok besar di sekitar Teluk Jakarta yang ramai dibicarakan sejak Joko Widodo menjadi Gubernur DKI juga disebut-sebut sebagai langkah adaptasi pemerintah buat menghadang kenaikan muka air
laut. Adaptasi penting supaya orang-orang semakin paham untuk hidup ‘berdampingan’ dengan bencana. Saat ini, bencana-bencana besar terkait perubahan iklim sudah terjadi di berbagai belahan
di dunia. Sayangnya, menurut dosen Hubungan Internasional Universitas Katolik Parahyangan, Stanislaus Risadi Apresian, anggaran dan program untuk adaptasi iklim Indonesia kurang mendapat
perhatian. Argumen Stanislaus selengkapnya bisa dibaca di sini: ------------------------- _ READ MORE: KESEPAKATAN COP26 GLASGOW MEMUAT 4 POIN PENTING, APAKAH AKSI IKLIM INDONESIA SUDAH
SESUAI JALUR? _ ------------------------- 4. APA ITU NDC? NDC adalah kepanjangan dari _Nationally Determined Contribution_ alias Komitmen Kontribusi Nasional. NDC, menurut Dosen Physical
Geography Richard Hodgkins,, adalah komitmen “tugas kelompok” masing-masing negara untuk menahan pemanasan bumi hingga 1,5°C pada 2030. Pembuatan NDC disepakati dalam Perjanjian Paris pada
2015 silam. Dokumen NDC diperbarui setiap lima tahun.. Perjanjian Paris juga mengatur mekanisme evaluasi kemajuan NDC yang bernama “_global stocktake_”. Proses ini baru dimulai pada 2023
(dua tahun sebelum pembaruan NDC pada 2025) dan 2028 (sebelum pembaruan NDC tahun 2030). Indonesia menyetor dokumen NDC pada akhir September 2022. Dalam dokumen ini, pemerintah berkomitmen
mengurangi emisi dengan skenario kemampuan sendiri (_unconditional_) sebesar 31,8% dan dengan bantuan internasional (_conditional_) sebesar 43,2% pada 2030. Angka tersebut lebih besar
dibandingkan target dalam dokumen updated NDC yang terbit pada 2021 yakni sebesar 29% dan 41% untuk _unconditional_ dan _conditional_. Sementara, menurut Profesor Hubungan Internasional
Universitas Queensland Australia Matt McDonald NDC negara-negara saat ini justru ditaksir akan meningkatkan suhu global hingga 2,4°C pada akhir 2100. ------------------------- _ READ MORE:
PERUNDINGAN IKLIM COP27 DIMULAI NOVEMBER: PERTEMUAN OMONG KOSONG ATAU BENAR-BENAR PENTING? _ ------------------------- Itu pun dengan asumsi negara-negara mampu memenuhi target. Tahun ini
Bumi mengalami dua insiden pemanasan yang mencetak rekor, yakni 1,5°C lebih panas dari era praindustri pada September. Dua bulan kemudia, rekor terpecah lagi dengan pemanasan suhu Bumi
rata-rata menyentuh 2°C. Laporan terbaru PBB bahkan menyebutkan, kita masih berada di jalur menuju pemanasan 3°C yang “sangat buruk” pada akhir abad ini. Karena itulah, Co-Director
Environmental Governance Lab dari University of Toronto, Matthew Hoffmann, berpendapat kalau negara-negara membutuhkan undang-undang yang bisa langsung mengevaluasi pelaksanaan NDC di
tingkat nasional – misalnya oleh parlemen. Sejauh ini baru ada Kanada, yang punya Net Zero Accountability Act untuk memastikan target iklimnya enggak berakhir di atas kertas saja. - _CATATAN
EDITOR: Artikel diperbarui untuk menambahkan informasi terbaru seputar fenomena iklim 2023 dan COP 28._