
Sudah saatnya indonesia memaknai ulang prinsip bebas aktif dengan perspektif gender
- Select a language for the TTS:
- Indonesian Female
- Indonesian Male
- Language selected: (auto detect) - ID
Play all audios:

September 2022 lalu, lembaga penelitian Centre for Strategic and International Studies (CSIS) bekerja sama dengan Nanyang Technological University (NTU), Singapura, menerbitkan buku berjudul
_Hatta and Indonesia’s Independent and Active Foreign Policy: Retrospect and Prospect_. Buku ini berisikan 12 artikel yang membahas prinsip politik luar negeri bebas aktif dari berbagai
sudut pandang. Penerbitan buku ini perlu diapresiasi karena tidak banyak buku di Indonesia yang mengkaji ulang prinsip bebas aktif. Prinsip ini sudah dianggap final sebagai landasan normatif
kebijakan luar negeri Indonesia. Sayangnya, dari 12 artikel yang membahas prinsip bebas aktif, tidak satupun yang berusaha melihat maupun memaknai kembali prinsip tersebut dari sudut
pandang gender. Padahal, penting untuk membahas dan mengkaji prinsip politik luar negeri bebas aktif Indonesia melalui kacamata gender mengingat adanya reorientasi hubungan internasional
untuk makin peduli pada persoalan-persoalan gender. Salah satunya terlihat dari Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa Bangsa Nomor 1325 mengenai perempuan, perdamaian dan keamanan yang
diadopsi PBB pada 31 Oktober 2000. Selain itu, semakin banyak negara yang mengadopsi prinsip gender dan feminisme sebagai landasan kebijakan luar negeri. BUTA GENDER SEJAK LAHIR Prinsip
bebas aktif pertama kali diusulkan oleh salah satu bapak republik, Mohammad Hatta, pada 1948 di depan sidang Komite Nasional Indonesia Pusat(KNIP). Di depan forum tersebut, Hatta berpidato
bahwa Indonesia tidak boleh menjadi objek dalam pertarungan politik internasional. Indonesia harus menjadi subyek yang mampu menentukan sikap sendiri dan memperjuangkan tujuan nasional.
Politik internasional juga harus dihadapi secara rasional. Selanjutnya, ketika menjelaskan landasan dasar kebijakan luar negeri Indonesia di majalah Foreign Affairs tahun 1953, Hatta
berpendapat bahwa Indonesia tidak boleh menjadi pihak yang pasif dalam politik internasional, tetapi harus menjadi agen aktif yang berhak menentukan pendiriannya sendiri. Dari penjelasan
Hatta tersebut, lahirlah empat komponen utama dalam prinsip bebas aktif, yaitu independen, rasional, berlandaskan pada kepentingan nasional Indonesia, dan berperan aktif dalam penyelesaian
masalah-masalah dunia. Sayangnya, prinsip dasar kebijakan luar negeri yang dikemukakan Hatta masih buta gender (_gender blindness_). Ini terlihat dari, yang pertama, pidato Hatta yang sama
sekali tidak menyinggung persoalan gender, baik di level internasional dan nasional. Kedua, pidato Hatta berfokus pada konflik internasional dan domestik yang saat itu berlangsung dalam
menekankan pentingnya prinsip bebas aktif di dalam kebijakan luar negeri Indonesia. Ketiga, Hatta membangun prinsip bebas dan aktif dengan kerangka mencapai keamanan negara, bukan keamanan
manusia – di mana persoalan gender menjadi salah satu fokusnya. Pandangan Hatta ini dilandasi oleh situasi Perang Dingin dan konflik ideologis di dalam negeri antara kelompok komunis dan
nasionalis yang mendominasi politik internasional dan domestik pada masa itu, khususnya menjelang tahun 1950an. Kini, ketegangan sudah berakhir, dan hubungan antarnegara semakin kental
dengan perspektif gender. Ini terlihat dari pengakuan PBB tentang pentingnya perspektif gender dalam penyelesaian masalah-masalah keamanan dunia. Oleh karena itu, kita memerlukan pemaknaan
ulang atas prinsip bebas aktif agar sejalan dengan perspektif gender dan relevan dengan situasi global saat ini. PENTINGNYA PENGARUSUTAMAAN GENDER DALAM PRINSIP BEBAS AKTIF Isu gender telah
menjadi persoalan tersendiri yang mempengaruhi kompleksitas praktik politik internasional. Dalam sebuah laporannya, PBB memaparkan bahwa di berbagai belahan dunia, setiap jam, ada lebih dari
lima perempuan yang dibunuh oleh anggota keluarga mereka. Satu dari 100 ribu perempuan telah menjadi korban pembunuhan terkait gender (_gender related killings_) oleh anggota keluarga
terdekat mereka. Pembunuhan semacam itu disebut dengan ‘femisida’. Sidang Umum Dewan HAM PBB mendefinisikan femisida sebagai pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian,
dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya. Femisida ini terjadi merata di seluruh belahan dunia.
Laporan PBB tersebut menjelaskan bahwa pada 2021, Asia merupakan kawasan dengan tingkat femisida tertinggi (17.800 kasus), diikuti oleh Afrika (17.200 kasus), Amerika Serikat (7.500 kasus),
Eropa (2.500 kasus), dan Oseania (300 kasus). Merujuk pada Pembukaan UUD 1945, tertulis bahwa pemerintah Indonesia harus “_ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi dan keadilan sosial_”. Maka dari itu, Indonesia tidak bisa mengabaikan masalah gender ini. Terlebih lagi, dalam beberapa tahun terakhir Indonesia juga telah menunjukkan
minatnya untuk ikut mengatasi masalah-masalah gender di level internasional. Salah satunya lewat keberhasilan Indonesia dalam meningkatkan partisipasi perempuan di dalam pasukan perdamaian
PBB. Pemerintah juga telah mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Inpres ini menginstruksikan kepada seluruh instansi
pemerintah untuk memasukkan perspektif gender ke dalam berbagai program pembangunan nasional sesuai dengan bidang tugas dan fungsi, serta kewenangan masing-masing instansi. Selain itu,
sejumlah negara, seperti Kanada, Perancis, Meksiko, dan Spanyol, juga telah mengintegrasikan norma gender ke dalam kebijakan luar negerinya. Ini menjadi bukti bahwa gender sudah menjadi
norma tersendiri di dalam kebijakan luar negeri dan hubungan internasional. MEMBANGUN PERSPEKTIF GENDER DALAM PRINSIP BEBAS AKTIF Lalu, bagaimana membangun prinsip bebas aktif berperspektif
gender? Langkah pertama yang perlu pemerintah lakukan adalah memberikan makna baru pada prinsip bebas aktif yang selaras dengan perspektif gender. Dalam perumusannya, ada beberapa pertanyaan
yang perlu diperhatikan. * Bagaimana memaknai “bebas” dan “aktif”, dan apa batasan “bebas dan aktif” dalam konteks gender di dalam kebijakan luar negeri? * Bagaimana menjalankan “bebas dan
aktif” dalam konteks gender sebagai landasan kebijakan luar negeri? * Bagaimana mengintegrasikan dan menyelaraskan prinsip bebas aktif yang berbasis gender dengan kepentingan nasional? *
Adakah ongkos politik, sosial dan ekonomi yang harus ditanggung Indonesia jika prinsip bebas aktif diselaraskan dengan perspektif gender? Bagaimana mengatasi ongkos tersebut? Pemerintah
perlu membuka ruang dialog antara penyusun kebijakan luar negeri, akademisi, dan perwakilan-perwakilan masyarakat sipil terkait untuk menjawab dan memperdebatkan pertanyaan-pertanyaan dasar
tersebut. Ruang dialog ini penting, karena tidak ada agenda gender tanpa mekanisme demokratis. Hubungan internasional bersifat dinamis. Perubahan terjadi setiap saat. Negara harus selalu
menyesuaikan diri dengan berbagai perubahan internasional untuk menyelaraskan dan menjaga relevansi dirinya. Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia memaknai kembali prinsip bebas aktifnya
dengan menggunakan perspektif gender.