Bagaimana caranya membasmi budaya toksik dalam e-sports?

Bagaimana caranya membasmi budaya toksik dalam e-sports?


Play all audios:


Dalam kehidupan sehari-hari, kita kemungkinan jarang mendengar orang berteriak kepada kita, “Sana balik ke dapur dan masak aja!” Tapi jika kamu adalah seorang perempuan yang bermain _online


game_, ungkapan semacam ini – atau bahkan yang lebih parah – sangat sering muncul. Apalagi saat pandemi COVID-19 mendorong gencarnya kehidupan daring dan juga memicu pertumbuhan _online


gaming_, pelecehan di ruang tersebut maupun sudut internet lainnya makin meningkat. Pada 2020, sebanyak 41% pemain _video game_ di Amerika Serikat (AS), negara saya mengajar, merupakan


perempuan. Meski terjadi di ruang digital, pelecehan _online_ bisa punya dampak di dunia nyata bagi para korban, termasuk tekanan dan stres emosional maupun fisik. Ini membuat perusahaan


_video game_ maupun para pemainnya berupaya mendorong teknik-teknik manajemen komunitas yang lebih baik untuk mencegah pelecehan. Sebagai seorang peneliti yang mempelajari _gaming_, saya


menemukan bahwa norma budaya yang tepat bisa menghasilkan komunitas daring yang lebih sehat, bahkan dalam dunia yang sangat kompetitif seperti _e-sports_ (olahraga daring kompetitif termasuk


_game online_). Taruhannya cukup besar. Dunia _e-sports_ kini menuai pendapatan tahunan lebih dari US$ 1 milyar (lebih dari Rp 15 triliun). Liga-liga profesional, serta liga tingkat


perguruan tinggi maupun SMA kini semakin berkembang, terutama pada saat pandemi ketika perkembangan olahraga tradisional melambat. SEJARAH PELECEHAN Dalam beberapa tahun ke belakang, beragam


reportase dari The New York Times, Wired, hingga Insider dan media lainnya melaporkan kentalnya seksisme, rasisme, homofobia, dan bentuk-bentuk diskriminasi lain di ruang daring. Namun,


isu-isu ini bukanlah hal baru. Masalah serupa sempat mencuat pada 2014 saat skandal Gamergate, gerakan berbasis Twitter yang melecehkan pemain, perancang, dan jurnalis _video game_


perempuan. Seksisme pun sudah menjadi hal umum bahkan sebelum Gamergate. Misalnya, pemain _game_ profesional Miranda Pakozdi mengundurkan diri dari timnya menyusul pelecehan seksual dari


pelatihnya pada 2012. Sang pelatih, Aris Bakhtanians, menyatakan bahwa “pelecehan seksual adalah bagian dari budaya [_game_ perkelahian]” dan sangat susah dihilangkan. Beberapa pihak lain


mengatakan bahwa anonimitas dalam ruang-ruang _online gaming_, ditambah dengan sifat kompetitif para pemain, meningkatkan kemungkinan perilaku toksik. Data survei dari Liga Defamasi Amerika


(ADL) menemukan setidaknya 37% pemain perempuan pernah menghadapi pelecehan berbasis gender. Namun demikian, ada juga komunitas _online_ yang positif. Studi dari pengacara dan mantan


perancang pengalaman pengguna (UX) di Microsoft, Rebecca Chui menemukan bahwa komunitas _online_ yang anonim pada dasarnya tidak toksik. Lebih tepatnya, budaya pelecehan bisa muncul jika


norma komunitas mengizinkannya terjadi. Ini berarti perilaku buruk di ruang daring bisa diatasi secara efektif. Pertanyaannya adalah, bagaimana caranya? STRATEGI KOPING PARA PEMAIN Dalam


riset berbasis wawancara yang saya lakukan terhadap pemain perempuan, saya menemukan bahwa para pemain punya banyak strategi untuk mengindari atau merespons pelecehan _online_. Misalnya,


beberapa hanya bermain dengan teman dekat atau menghindari menggunakan _chat_ suara demi menyembunyikan gender mereka. Pemain lain memilih mengasah permainan hingga jago dalam _game_ favorit


mereka, demi menutup ruang pelecehan. Penelitian dari ilmuwan media lain, seperti Kishonna Gray dan Stephanie Ortiz, menemukan pola serupa lintas ras dan seksualitas. Strategi-strategi ini,


sayangnya, punya beberapa keterbatasan. Misalnya, sekadar mengabaikan atau tak mengacuhkan perilaku toksik berarti membiarkannya terus terjadi. Di sisi lain, melawan balik para pelaku


pelecehan sering menimbulkan pelecehan yang lebih parah lagi. Strategi semacam ini juga bisa menempatkan beban untuk mengatasi pelecehan di pundak korban, ketimbang pada pelaku atau


komunitas. Ini bisa mendorong para korban untuk semakin keluar dari ruang daring. Seiring para responden saya meraih tanggung jawab lebih dalam pekerjaan atau keluarga mereka, misalnya,


mereka tak lagi punya tenaga untuk menghadapi pelecehan dan memutuskan berhenti bermain. Studi saya menemukan perusahaan _game_ perlu mengintervensi komunitas mereka supaya para pemain yang


menjadi korban tak memikul beban itu sendirian. BAGAIMANA PARA PERUSAHAAN BISA BERTINDAK Perusahaan _game_ kini semakin meningkatkan kepedulian terhadap strategi manajemen komunitas. Salah


satu penerbit besar, Electronic Arts (EA) mengadakan konferensi manajemen komunitas pada 2019, dan perusahaan seperti Microsoft dan Intel mengembangkan alat-alat untuk mengelola ruang


daring. Sekelompok perusahaan pengembang _game_ juga membentuk Fair Play Alliance, suatu koalisi yang bekerja untuk mengatasi pelecehan dan diskriminasi dalam dunia _gaming_. Tapi,


intervensi-intervensi ini wajib mengakar pada pengalaman para pemain. Banyak perusaahaan menerapkan intervensi melalui praktik seperti pelarangan (_banning_) atau pemblokiran terhadap pelaku


pelecehan. Misalnya, platform siaran langsung Twitch pernah menerapkan _ban_ terhadap beberapa kreator menyusul dugaan pelecehan seksual. Langkah seperti ini bisa jadi langkah awal, tapi


para peleceh yang dikenai pemblokiran atau _ban_ sering membuat akun baru dan semudah itu kembali pada perilaku mereka. Pemblokiran juga berarti mengelola pelecehan setelah terjadi ketimbang


menghentikannya di sumbernya, sehingga ini perlu dikombinasikan dengan beberapa pendekatan potensial lain. Pertama, perusahaan perlu mengembangkan alat yang mereka sediakan bagi pemain


untuk mengelola identitas _online_ mereka. Banyak partisipan menghindari _chat_ suara untuk membatasi pelecehan berbasis gender. Tapi ini seringkali mempersulit mereka dalam berkompetisi.


Beberapa _game_ seperti Fortnite, League of Legends, and Apex Legends menerapkan sistem “ping” yang mengizinkan pemain mengkomunikasikan informasi permainan secara cepat, tanpa memerlukan


suara. Alat serupa bisa dibangun ke dalam sistem permainan _online game_ lainnya. Opsi lain yang disarankan para responden saya adalah mempermudah pemain untuk berkelompok dengan teman-teman


dekat mereka, sehingga mereka selalu punya seseorang yang bisa membantu melindungi mereka dari pelecehan. Mekanisme pengelompokan terutama bisa efektif saat disesuaikan dengan setiap _game_


secara spesifik. Misalnya, dalam _game_ seperti Overwatch dan League of Legends, pemain perlu memainkan peran-peran yang berbeda supaya tim mereka berimbang. Pelecehan bisa terjadi jika


para anggota tim yang dipasangkan secara acak kemudian ingin memainkan karakter yang sama. Overwatch memperkenalkan sistem pengelompokan yang mengizinkan pemain untuk memilih karakter


mereka, kemudian dipasangkan dengan pemain yang telah memilih peran lain. Ini tampaknya bisa mengurangi _chat_ yang bersifat melecehkan. Terakhir, perusahaan juga perlu mengubah norma-norma


kultural yang mendasar. Misalnya, penerbit League of Legends yakni Riot Games pernah menerapkan suatu sistem “tribunal” yang mengizinkan pemain melihat laporan insiden dan menggunakan hak


suara untuk menentukan apakah perilaku tersebut bisa diterima dalam komunitas. Meski sayangnya Riot Games sayangnya menutup sistem tersebut, melibatkan anggota komunitas dalam solusi apapun


adalah ide bagus. Perusahaan juga perlu mengembangkan panduan komunitas yang jelas, mendorong perilaku positif melalui hal-hal seperti penghargaan (_in-game achievements_), dan merespons isu


yang tengah berkembang secara cepat dan tegas. Jika _e-sports_ terus berkembang tanpa para perusahaan mengatasi lingkungan toksik dalam _game_ mereka, perilaku melecehkan dan diskriminatif


kemungkinan akan terus tertanam. Untuk menghindari ini, para pemain, pelatih, tim, liga, perusahaan, hingga platform siaran langsung harus berinvestasi pada upaya-upaya manajemen komunitas


yang lebih baik.