
Dampak erupsi gunung berapi terhadap vegetasi dan ekosistem
- Select a language for the TTS:
- Indonesian Female
- Indonesian Male
- Language selected: (auto detect) - ID
Play all audios:

Sutomo tidak bekerja, menjadi konsultan, memiliki saham, atau menerima dana dari perusahaan atau organisasi mana pun yang akan mengambil untung dari artikel ini, dan telah mengungkapkan
bahwa ia tidak memiliki afiliasi di luar afiliasi akademis yang telah disebut di atas.
Saat gunung berapi meningkat aktivitas vulkaniknya dan meletus, yang banyak menjadi perhatian adalah penduduk di sekitar gunung. Mereka diminta mengungsi dan menjauh dari titik panas gunung
api. Selain berdampak kepada manusia, letusan gunung api berdampak pula terhadap vegetasi dan ekosistem di sekitar gunung.
Salah satu gunung berapi di Pulau Bali yang saat ini tengah menjadi sorotan adalah Gunung Agung. Gunung api yang terakhir erupsi pada 1963 itu kini kembali menunjukkan peningkatan aktivitas
vulkaniknya dan berada pada status awas sampai 29 Oktober 2017. Sehari setelah tanggal tersebut statusnya diturunkan ke level siaga.
Gunung Agung adalah salah satu gunung berapi yang telah ikut membentuk permukaan bumi. Lebih dari separuh dari jumlah total gunung api daratan aktif (terrestrial active volcano) mengelilingi
Samudera Pasifik dan dikenal sebagai “Ring of Fire”.
Indonesia sangat unik, karena di negeri ini terdapat serangkaian gunung api aktif di Pulau Sumatra, Pulau Jawa, Bali hingga Nusa Tenggara. Dengan sekitar kurang lebih 130 gunung api aktif
terbentang di wilayah ini, membuat Indonesia dikenal sebagai negara dengan jumlah gunung api terbanyak di dunia.
Erupsi gunung berapi umumnya berdampak terhadap ekosistem dan vegetasi di sekitarnya. Beberapa aktivitas vulkanik yang dapat berdampak terhadap vegetasi di antaranya lahar dan gas
pyroclastic flows, gas panas (beberapa menyebutnya sebagai awan panas) yang dapat mencapai suhu 700 derajat Celsius yang meluncur dengan kecepatan tinggi. Di Gunung Merapi di Yogyakarta,
fenomena ini dinamakan wedhus gembel.
Dampak dari material padat aktivitas gunung berapi umumnya menyebabkan penimbunan vegetasi. Pohon dan tumbuhan lainnya terkubur oleh timbunan material padat dari gunung berapi. Sedangkan
dampak dari wedhus gembel atau pyroclastic flows adalah kebakaran yang menghanguskan vegetasi.
Dari hasil penelitian saya di Gunung Merapi pada erupsi 2006 terdapat lima tingkat kerusakan di empat lokasi pohon tusam atau pinus (Pinus merkusii) yang terkena dampak awan panas (wedhus
gembel) yaitu:
Penelitian saya menemukan kerusakan pohon pinus terbesar adalah kategori 4 (pohon tumbang tercerabut dari akarnya) sebanyak 31%. Sebanyak 23% dari pepohonan patah (kategori 3), dan 21%
terbakar dengan cabang yang patah (kategori 2). Pohon yang hanya terbakar sebanyak 16% dan hanya 9% pohon pinus yang selamat.
Debu vulkanik juga berdampak terhadap tumbuhan. Debu-debu vulkanik yang jatuh dan menempel di permukaan daun dapat menghambat proses fotosintesis sehingga memperlambat pertumbuhan. Biasanya
hujan yang disertai angin dapat menghilangkan debu-debu tapi perlu beberapa waktu. Debu tidak segera hilang setelah hujan pertama.
Beberapa jenis tumbuhan yang tidak dapat beradaptasi terhadap kondisi vulkanik ini akan mati, sedangkan beberapa jenis tumbuhan dengan karakter fisiologi yang khusus mampu beradaptasi dengan
kondisi ini dan bertahan bahkan mampu berkembang biak.
Di Gunung Merapi, misalnya, untuk beradaptasi dengan wedhus gembel yang membakar vegetasi, beberapa jenis tumbuhan seperti pohon Casuarina junghuhniana memiliki kulit batang yang keras dan
tebal untuk melindungi dari suhu panas yang tinggi. Jenis pohon Casuarina ini juga terdapat di lereng Gunung Agung.
Beberapa jenis pohon lainnya seperti tusam (Pinus merkusii) justru memanfaatkan api dan suhu yang tinggi ini untuk membantu perbanyakan anakan. Suhu tinggi ikut membantu memecahkan kulit
biji tusam yang keras sehingga biji dapat berkecambah dan menjadi semai anakan baru.
Ekosistem alam ibarat karet gelang. Karet gelang jika ditarik akan melar. Jika tarikan tersebut dilepaskan, karet akan kembali ke posisi awal asalkan tarikan masih dalam batas normal atau
tidak melampaui elastisitasnya. Jika melampaui tingkat elastisitasnya, maka karet akan putus.
Demikian juga sebuah ekosistem alam. Tarikan dalam konteks ekosistem adalah sebuah gangguan (misalnya erupsi gunung api). Ekosistem alam memiliki kemampuan untuk memperbaiki sendiri
(self-repair) setelah mengalami gangguan, yaitu melalui proses yang dinamakan suksesi.
Penimbunan vegetasi tumbuhan oleh material erupsi akan memicu terjadinya proses suksesi primer dalam vegetasi. Proses suksesi primer terjadi ketika semai-semai pohon dari biji yang berasal
dari tumbuhan di lokasi lain yang tidak terkena erupsi mulai bermunculan. Biji-bijian ini mungkin dipencarkan oleh binatang-binatang seperti serangga dan burung, atau angin.
Suksesi primer dan regenerasi vegetasi yang terjadi di atas aliran lahar tebal seperti yang dapat dijumpai di kawasan sekitar Gunung Batur Bali membutuhkan waktu yang lama. Ahli biologi
Anthony J. Whitten dan rekannya menulis kurang lebih setahun setelah erupsi Gunung Agung pada 1963, diperkirakan hanya 10% permukaan tanah di sekitar Besakih yang diselimuti rerumputan
hijau, terna (tumbuhan dengan batang lunak tidak berkayu), semak belukar, dan tunas-tunas pohon-pohon yang terkena dampak erupsi. Secara keseluruhan pada saat itu ditemukan 83 jenis
tumbuhan. Sedangkan sisa permukaan tanah (90 % lainnya), tetap gundul, “bagaikan telah disemen”.
Sedangkan dari awan panas yang membakar vegetasi proses suksesi sekunder terjadi. Suksesi sekunder terjadi jika sesudah gangguan seperti erupsi atau kebakaran akibat awan panas masih tersisa
beberapa tanaman individu yang masih hidup, bertunas atau masih tersisa warisan biologis.
Lahan yang telah gundul akibat erupsi tertutupi oleh lahar yang mengeras dan perlahan-lahan akan retak. Di retakan itu akan muncul tumbuhan pionir (mungkin lumut dan paku-pakuan) yang akan
memfasilitasi tumbuhan tingkat tinggi yang lain dapat tumbuh di areal tersebut.
Lamanya proses suksesi bergantung pada seberapa parah kerusakannya dan seberapa besar luas wilayah yang terdampak. Juga faktor ada tidaknya warisan biologi (misalnya sumber benih di lokasi
dan lokasi sekitarnya) dan ada tidaknya campur tangan manusia untuk dapat mempercepat proses suksesi alami tersebut, atau restorasi ekosistem.
Selain upaya restorasi ekosistem, diperlukan pula pemantauan terhadap dinamika vegetasi tumbuhan di kawasan gunung berapi. Kawasan hutan pegunungan (termasuk kawasan gunung berapi) berperan
sangat penting sebagai tempat dengan keanekaragaman hayati. Pemantauan yang rutin dapat mendeteksi perubahan areal bervegetasi menjadi areal untuk peruntukan lain.
Teknologi penginderaan jauh (remote sensing) saat ini dapat dimanfaatkan untuk memonitor vegetasi di kawasan gunung berapi.
Data citra satelit pada tahun yang berbeda-beda dapat dikumpulkan dan diolah untuk dianalisis untuk membandingkan ada tidaknya perubahan luas areal vegetasi serta perubahan indeks kehijauan
vegetasi (densitas tutupan hijau atau vegetasi di suatu lahan) dengan menggunakan Normalized Difference Vegetation Index (NDVI).
Sebagai kesimpulan, ekosistem memiliki elastisitas dan mampu memperbaiki sendiri pasca-terkena gangguan alam. Dengan demikian penting untuk memantau dinamika ekosistem dan perubahan lanskap
serta vegetasinya agar dapat ditentukan tingkat suksesinya. Jika suksesi progresif, itulah yang diharapkan. Sebaliknya, jika suksesi terhambat, perlu dilakukan intervensi ekologi dengan
restorasi ekosistem untuk mengubah arah suksesi dan mempercepat laju suksesi.