
Fenomena ‘bulan darah’: mitos gerhana bulan dari seluruh dunia
- Select a language for the TTS:
- Indonesian Female
- Indonesian Male
- Language selected: (auto detect) - ID
Play all audios:

Jutaan orang akan berkesempatan untuk melihat gerhana bulan - peristiwa yang dikenal di media sebagai _blood moon_ atau gerhana bulan darah - pada hari Jumat, 27 Juli. Gerhana bulan yang
dapat dilihat di sebagian besar belahan dunia ini - hanya Amerika Utara dan Greenland yang diperkirakan tidak akan dapat menyaksikannya - akan menjadi gerhana bulan terlama di abad ini, jadi
masih banyak waktu untuk melihatnya. Selama gerhana bulan darah ini, bulan purnama bergerak ke dalam bayangan Bumi yang diterpa sinar matahari, dan untuk sementara waktu menjadi gelap.
Sebagian cahaya matahari masih mencapai bulan, dibiaskan oleh atmosfer Bumi, namun menyinari bulan dengan cahaya merah pucat sampai merah tua, tergantung pada kondisi atmosfer. Sebagai
seorang komunikator astronomi, istilah “gerhana bulan darah” adalah masalah besar bagi saya, karena istilah ini mengisyaratkan sesuatu selain gerhana bulan dan memunculkan gambar bulan yang
berkilauan dengan warna merah tua, yang sama sekali tidak akurat. Namun, sebagai seorang astronom budaya, frasa ini menampilkan beberapa cara menarik yang digunakan masyarakat modern untuk
menciptakan kisah-kisah langit. Gerhana bulan darah telah memukau budaya di seluruh dunia, dan mengilhami beberapa mitos dan legenda yang menakjubkan, banyak di antaranya yang menggambarkan
peristiwa tersebut sebagai pertanda. Hal ini tidak mengherankan, karena jika ada sesuatu yang mengganggu ritme reguler matahari atau bulan, maka akan berdampak besar pada diri dan kehidupan
kita. MITOS BURUK GERHANA BULAN Bagi banyak peradaban kuno, “gerhana bulan” dipercaya sebagai sesuatu yang datang dengan niat jahat. Masyarakat Inca kuno, misalnya, menafsirkan warna merah
tua sebagai jaguar yang menyerang dan memakan bulan. Mereka percaya bahwa jaguar akan mengalihkan perhatiannya ke Bumi, sehingga orang-orang akan berteriak, mengayunkan tombak dan membuat
anjing mereka menggonggong dan melolong, dengan harapan dapat menimbulkan suara yang cukup keras untuk mengusir jaguar tersebut. Pada masa Mesopotamia kuno, gerhana bulan dianggap sebagai
serangan langsung terhadap raja. Mengingat kemampuan mereka untuk memprediksi gerhana dengan akurasi yang masuk akal, mereka akan menempatkan seorang raja pengganti selama durasinya.
Seseorang yang dianggap dapat dikorbankan (ini bukanlah pekerjaan yang diminati), akan berpura-pura menjadi raja, sementara raja yang sebenarnya akan bersembunyi dan menunggu gerhana
berlalu. Raja pengganti kemudian akan menghilang dengan mudah, dan raja yang lama akan dipulihkan. Beberapa cerita rakyat Hindu menafsirkan gerhana bulan sebagai akibat dari setan Rahu yang
meminum ramuan keabadian. Dewa kembar matahari dan bulan segera memenggal kepala Rahu, namun setelah meminum ramuan tersebut, kepala Rahu tetap abadi. Untuk membalas dendam, kepala Rahu
mengejar matahari dan bulan untuk memangsanya. Jika ia berhasil menangkap mereka, maka akan terjadi gerhana - Rahu menelan bulan, yang kemudian muncul kembali dari lehernya yang terpenggal.
Bagi banyak orang di India, gerhana bulan dianggap membawa kesialan. Mereka menutupi makanan dan air serta melakukan ritual pembersihan. Perempuan hamil, khususnya, tidak boleh makan atau
melakukan pekerjaan rumah tangga, untuk melindungi janin mereka. MITOS RELIGIUS GERHANA BULAN Tidak semua mitos gerhana bernuansa kejahatan. Suku Hupa dan Luiseño dari California, Amerika
Serikat (AS), percaya bahwa bulannya terluka atau sakit. Setelah gerhana, bulan akan membutuhkan penyembuhan, baik oleh istri bulan atau anggota suku. Suku Luiseño, misalnya, akan bernyanyi
dan melantunkan lagu-lagu penyembuhan ke arah bulan yang menjadi gelap. Yang lebih positif lagi adalah legenda masyarakat Batammaliba di Togo dan Benin di Afrika. Secara tradisional, mereka
memandang gerhana bulan sebagai konflik antara matahari dan bulan - sebuah konflik yang harus didorong oleh masyarakat untuk diselesaikan. Oleh karena itu, gerhana bulan menjadi momen untuk
menyelesaikan perseteruan lama, sebuah praktik yang masih berlangsung hingga saat ini. Dalam budaya Islam, gerhana cenderung ditafsirkan tanpa takhayul. Dalam Islam, matahari dan bulan
melambangkan penghormatan yang mendalam kepada Allah, sehingga selama gerhana, doa-doa khusus diucapkan, termasuk Salat-al-khusuf, “doa pada gerhana bulan”. Salat ini bertujuan memohon
pengampunan Allah dan menegaskan kembali kebesaran Allah. SEJARAH YANG MENYESATKAN Kembali lagi ke tentang darah, agama Kristen kerap menyamakan gerhana bulan dengan kemurkaan Tuhan, dan
sering mengaitkannya dengan penyaliban Yesus. Perlu dicatat bahwa Paskah dirayakan pada hari Minggu pertama setelah bulan purnama pertama di musim semi, sehingga gerhana tidak akan pernah
terjadi pada hari Minggu Paskah, yang berpotensi menjadi tanda Hari Kiamat. Memang, istilah “bulan darah” baru mulai populer pada tahun 2013 setelah peluncuran buku _Four Blood Moons_ oleh
pendeta Kristen John Hagee. Dia mempromosikan kepercayaan apokaliptik yang dikenal sebagai “ramalan bulan darah” yang menyoroti urutan bulan dari empat gerhana total yang terjadi pada tahun
2014/15. Hagee mencatat bahwa keempatnya terjadi pada hari raya Yahudi, yang hanya terjadi tiga kali sebelumnya - yang masing-masing ditandai dengan peristiwa buruk. Ramalan ini dibantah
oleh Mike Moore (Sekretaris Jenderal _Christian Witness to Israel_) pada tahun 2014, tetapi istilah ini masih sering digunakan oleh media dan telah menjadi sinonim yang mengkhawatirkan untuk
merujuk pada gerhana bulan. Masih adanya sejumlah takhayul sangat tidak membantu para komunikator sains yang mencoba mengingatkan semua orang bahwa apa yang disebut “bulan darah” bukanlah
sesuatu yang perlu ditakuti. Ini mungkin mengesankan, dan mungkin menjadi yang terlama selama satu abad, tetapi ini hanyalah sebuah gerhana. Jadi, dengan menggunakan istilah “bulan darah”,
kita menggabungkan takhayul dengan ilmu pengetahuan, seperti halnya cerita rakyat Hindu Rahu yang memberikan deskripsi legendaris tentang mekanika orbit bulan. “Bulan darah” menarik minat
pada langit dan gerhana bulan, tetapi daripada menunggu malapetaka dan kehancuran, lebih baik kita melihatnya sesuai dengan interpretasi Islam - sebagai ilustrasi monumental tentang gerakan
tata surya kita yang menarik dan nyata. Jadi saran saya adalah: saksikanlah gerhana bulan seperti bagaimana langit terbentang di atas kita. Beri nama sendiri, beri makna sendiri, dan nikmati
bersama teman dan keluarga. Dan saya rasa akan ditemukan bahwa istilah _blood moon_ tidak bisa menggambarkan keajaiban dari apa yang kita saksikan. ------------------------- _Rahma Sekar
Andini dari Universitas Negeri Malang menerjemahkan artikel ini dari bahasa Inggris_