
Indonesia hingga meksiko berupaya menarik ‘digital nomads’, tapi penduduk lokal berkata “tak semudah itu”
- Select a language for the TTS:
- Indonesian Female
- Indonesian Male
- Language selected: (auto detect) - ID
Play all audios:

Haruskah komunitasmu menerima ‘_digital nomad_’ – orang-orang yang bekerja jarak jauh dan hinggap dari satu negara ke negara lainnya? Riset kami menemukan bahwa banyak pekerja antusias
menyambut fleksibiltas yang tak lagi mengharuskan mereka bekerja di kantor. Selain itu, setelah mengalami keterpurukan ekonomi akibat pandemi COVID-19, berbagai kota dan negara di dunia pun
mulai menyusun rencana untuk bisa menarik perhatian wisatawan. Salah satu idenya adalah dengan memperluas definisi pariwisata dengan memasukkan pekerja jarak jauh ke dalam kategori
pelancong. Kini, semakin banyak negara yang menawarkan “visa _digital nomad_”. Jenis visa ini memungkinkan pekerja jarak jauh untuk tinggal lebih lama di destinasinya dan memberi kejelasan
mengenai jenis kerjaan apa saja yang boleh dilakukan selama masa tinggalnya. Sebagai contoh, otoritas di Bali berusaha menyusun proses formal agar pekerja jarak jauh lebih mudah memperoleh
visa – “semakin cepat, semakin baik,” seperti yang diungkapkan oleh kepala dinas pariwisata pulau tersebut. Indonesia pun akhirnya resmi meluncurkan visa _digital nomad_ dua pekan lalu.
Namun, penolakan warga lokal mulai dari Barcelona hingga Mexico City jelas menegaskan bahwa ada keuntungan dan beban yang harus ditanggung dari arus masuk pekerja jarak jauh. Seperti yang
kami jelaskan di buku kami, “_Digital Nomads: In Search of Freedom, Community, and Meaningful Work in the New Economy_,” tren “_work tourism_” atau kerja sambil wisata muncul dengan sejumlah
kekurangan. ------------------------- _ READ MORE: MENYAMBUT PEMEGANG VISA TURIS DIGITAL NOMAD, APA YANG PERLU DISIAPKAN PEMERINTAH DAN PELAKU USAHA? _ ------------------------- TINGGAL
TERLALU LAMA, KEHADIRAN WISATAWAN BISA MELELAHKAN Sepanjang keberadaan sektor pariwisata, penduduk lokal seringkali mengeluhkan pendatang yang datang dan pergi. Para wisatawan ini – hingga
titik tertentu – kerap disambut sebagai dongkrak ekonomi. Namun, keberadaan mereka juga bisa jadi melelahkan. Venesia di Italia mungkin bisa jadi contoh klasik permasalahan ini. Sejumlah
besar turis senantiasa memadati kota kanal yang infrastrukturnya rapuh tersebut. Di Amerika Serikat (AS), penduduk lokal di pinggiran pantai New Jersey telah lama menggunakan kata
“_shoobies_”, sebutan konotatif untuk menamai kerumunan turis yang datang tiap musim panas. Untuk _digital nomads_ dan wisatawan mancanegara lainnya yang datang ke Bali, penduduk setempat
menggunakan kata “_bule_” – yang terjemahan kasarnya berarti “orang asing.” Umumnya, terminologi-termonologi tersebut digunakan untuk mengekspresikan sedikit rasa sebal pada hadirnya
rombongan turis dan meningkatnya arus lalu lintas. Namun, turis konvensional datang dan pergi. Lama tinggal mereka hanya berkisar beberapa malam atau beberapa minggu. Sementara, pekerja
jarak jauh bisa tinggal berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan – atau lebih. Mereka menghabiskan banyak waktu menggunakan tempat-tempat dan sumber daya yang secara tradisional ditujukan
untuk penduduk lokal. Ini bisa membuat kehadiran mereka semakin tak menyenangkan. Jumlah pengunjung yang berlebihan juga bisa menimbulkan persoalan terkait _sustainability_ atau
keberlanjutan. Sebab, gelombang turis membebani lingkungan dan infrastruktur destinasi wisata. Di Bali, misalnya, sawah-sawah yang indah dan hutan-hutan rimbun berganti menjadi hotel dan
vila untuk mendukung sektor pariwisata. _DIGITAL NOMAD_ BERUSAHA MEMAKSIMALKAN DOLARNYA Entah mereka hanya sekadar bermalas-malasan maupun sibuk dengan laptopnya, keberadaan turis
berprivilese pada akhirnya mengubah ekonomi dan demografi suatu wilayah. Daya beli mereka membuat harga-harga naik dan meminggirkan konsumen lokal – seiring dengan upaya bisnis tradisional
mengakomodasi kebutuhan para wisatawan ini. Warung makan yang melayani penduduk sekitar, misalnya, kini berubah jadi kafe mewah. Dinamika ini diperparah oleh wisatawan yang tinggal untuk
waktu lama. Layanan seperti VRBO dan Airbnb mempermudah para _digital nomads_ untuk menyewa apartemen selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan dalam satu waktu, dan orang-orang di seluruh
dunia semakin was-was mengenai bagaimana hal ini dapat mempengaruhi keterjangkauan harga dan karakteristik suatu tempat. Keinginan pekerja jarak jauh untuk punya gaya hidup ala liburan ini
seakan mengharuskan mereka untuk memilih destinasi yang biaya hidupnya murah. Akibatnya, mereka bisa saja berkontribusi terhadap ’gentrifikasi’ – proses perpindahan kelompok berpendapatan
tinggi ke kawasan berpendapatan rendah yang akhirnya cenderung merugikan penduduk kawasan tersebut – demi mencari tempat yang menghargai dolar mereka paling mahal. Di Mexico City, penduduk
lokal resah tergeser oleh pekerja jarak jauh yang mampu membayar harga sewa lebih tinggi. Sebagai respons terhadap upaya promosi Mexico City sebagai destinasi untuk pekerja jarak jauh,
seorang penduduk lokal dengan tegas dan ringkas mengekspresikan penolakannya: “Tolong jangan.” Sementara di New Orleans, AS, hampir separuh dari properti di distrik historis Tremé – salah
satu pemukiman warga kulit hitam tertua di negara tersebut – telah berubah menjadi tempat penyewaan jangka pendek. Ini membuat penduduk yang telah lama tinggal di sana terusir. KOMODIFIKASI
BUDAYA Dalam pariwisata, neokolonialisme merujuk pada bagaimana pariwisata berlebihan dan gentrifikasi menimbulkan ketidakseimbangan kuasa yang menguntungkan pendatang dan mengikis cara
hidup lokal. “Ada perbedaan antara orang-orang yang ingin mempelajari tempat di mana mereka berada, dengan mereka yang sekadar suka berada di sana karena murah,” seorang _digital nomad_ yang
tinggal di Mexico City berkata ke Los Angeles Times baru-baru ini. “Saya bertemu dengan banyak orang yang tak betul-betul peduli bahwa mereka sedang ada di Meksiko, mereka hanya peduli
bahwa di sini murah.” Bali, yang 80% perekonomiannya bergantung pada pariwisata, menjadi contoh yang jelas mengenai hal ini. Orang-orang datang ke Bali untuk menikmati ritual spiritual,
seni, alam dan tarian. Tapi, muncul pula rasa tidak suka pada para pencinta yoga, penikmat resor, dan digital nomad yang “mengambil alih” Pulau Dewata. Penduduk setempat mulai melihat
wisatawan yang datang mengelilingi pura dan melihat ritual sebagai transformasi dari apa yang tadinya dihargai – aspek nuansa dan spiritual budaya mereka – menjadi pengalaman yang
diperjualbelikan. Sebagai contoh, pertunjukan tari di Bali adalah magnet untuk menarik turis dalam jumlah besar dan bahkan tampil sebagai bagian dari promosi pariwisata global pulau
tersebut. Namun, pertunjukan ini juga memiliki makna budaya dan spiritual, dan dampak spiritual terhadap aspek-aspek tari tersebut menjadi bahan perdebatan bahkan di antara para penari.
Fenomena ini menimbulkan gesekan yang tak dapat terhindarkan. Ini bisa dilihat dari tingginya kriminalitas skala kecil terhadap wisatawan asing di Bali. Neokolonialisme juga bisa memicu
perpecahan antara orang-orang yang berasal dari negara atau budaya yang sama. Contohnya, muncul konflik antara koperasi taksi Bali melawan layanan taksi yang mempekerjakan pengemudi yang
berasal dari wilayah lain di Indonesia. Walaupun pekerja jarak jauh hanya merupakan porsi kecil dari keseluruhan populasi wisatawan, kebutuhan pekerjaan mereka beserta lamanya mereka tinggal
berarti besar kemungkinan bahwa mereka harus menggunakan layanan dan tempat yang biasa dikunjungi warga lokal. Apakah hal ini akan membuat _digital nomad_ diterima atau ditolak akan
bergantung pada kebijakan pemerintah dan perilaku turis itu sendiri. Apakah pemerintah negara-negara akan mengambil langkah untuk melindungi warganya agar tak tergusur? Ataukah hasrat
pemilik properti untuk menaikkan harga sewa yang akan menang? Apakah para pendatang dapat hidup sederhana dan berbaur, mempelajari bahasa dan budaya setempat? Atau mereka hanya akan fokus
pada “_work hard, play harder_” (bekerja keras, bersenang-senang lebih keras lagi)? Seiring tren kerja jarak jauh mencapai level yang tak pernah kita bayangkan sebelumnya, jawaban dari
pertanyan-pertanyaan ini akan menentukan apakah sikap “lebih cepat, lebih baik” terhadap visa digital dan insentif lainnya akan berlanjut.